Ungkapan ini menggambarkan situasi di mana mereka yang bekerja sungguh-sungguh, loyal, dan berkomitmen terhadap tugas justru sering kali tidak mendapatkan penghargaan yang sepadan. Sementara itu, mereka yang pandai beradaptasi dengan “lingkungan sosial kantor” yang tahu cara membangun citra, berbasa-basi, dan menjaga hubungan dengan atasan, justru mendapatkan pengakuan lebih, bahkan dalam bentuk finansial.
Tak bisa dipungkiri, di banyak tempat kerja, kemampuan teknis dan etos kerja tinggi tidak selalu menjadi kunci kesuksesan karier. Banyak kasus menunjukkan bahwa mereka yang pintar membangun relasi dan menjaga komunikasi informal justru lebih cepat naik jabatan.
Fenomena ini dikenal dalam kajian psikologi organisasi sebagai impression management, yaitu kemampuan seseorang untuk menampilkan citra positif di hadapan atasan. Sayangnya, ketika praktik ini dilakukan secara berlebihan tanpa diimbangi kinerja nyata, budaya kerja menjadi tidak sehat. Orang lebih sibuk menjaga “kesan” daripada menjaga kualitas kerja.
Akibatnya, muncul kesenjangan moral di tempat kerja: mereka yang bekerja keras merasa kecewa, sedangkan mereka yang santai tapi pandai bersosialisasi justru merasa di atas angin. Lama-kelamaan, hal ini bisa menurunkan semangat kerja dan menciptakan budaya asal bapak senang.
Bahkan, terkadang yang “kerja santai” ini bukan hanya tidak produktif, tetapi justru menjadi sumber masalah bagi instansi. Namun entah mengapa, mereka sering diagungkan oleh pimpinan - mungkin karena keahlian mereka dalam menjilat, atau karena pimpinan yang “tidak tahu”, atau malah “tahu tapi terhipnotis”?
Loyalitas dan Integritas Tak Selalu Dihargai
“Kerja keras” sering kali identik dengan ketekunan, tanggung jawab, dan integritas. Namun dalam praktiknya, nilai-nilai tersebut tidak selalu menjadi tolok ukur penghargaan. Banyak karyawan yang dengan tulus berjuang untuk menjaga reputasi lembaga, rela lembur tanpa tambahan gaji, atau menanggung beban kerja rekan yang lalai - tapi ketika tiba saatnya penilaian, nama mereka tak masuk radar penghargaan.
Di sisi lain, ada individu yang mungkin jarang menunaikan tugas sesuai standar, tetapi karena kedekatan personal dengan pimpinan atau keahlian berbicara yang menawan, mereka justru dipuji, dipromosikan, atau bahkan mendapatkan bonus. Di sinilah letak ironi dunia kerja modern: loyalitas sering dikalahkan oleh kepandaian dalam memainkan peran sosial.
Karyawan yang merasa kontribusinya tidak dihargai cenderung mengalami burnout dan kehilangan motivasi. Mereka bekerja dengan perasaan hampa, sekadar menggugurkan kewajiban, bukan lagi karena cinta terhadap pekerjaan. Dalam jangka panjang, hal ini menurunkan produktivitas dan kualitas hasil kerja organisasi secara keseluruhan.
Lebih berbahaya lagi, kondisi semacam ini bisa memunculkan budaya apatis. Ketika orang-orang baik dan pekerja keras mulai berpikir “buat apa bekerja sungguh-sungguh kalau hasilnya sama saja?”, maka yang tersisa hanyalah organisasi yang penuh formalitas tanpa semangat.
Sebaliknya, pihak yang terbiasa “kerja santai tapi hasil besar” akan semakin nyaman dengan sistem yang timpang. Mereka tidak memiliki motivasi untuk berubah karena keadaan berpihak pada mereka. Padahal, dalam jangka panjang, organisasi yang membiarkan ketimpangan ini akan kehilangan daya saing karena gagal menghargai potensi sejati para pekerja berdedikasi.
Mengapa Ketimpangan Ini Terjadi?
Ada beberapa faktor penyebab fenomena ini:
-
Kepemimpinan yang tidak objektif.Banyak pimpinan belum memiliki sistem penilaian berbasis kinerja yang transparan. Akibatnya, penilaian sering subjektif dan lebih dipengaruhi oleh faktor kedekatan personal.
-
Budaya kerja yang tidak sehat.Di beberapa tempat, budaya “asal terlihat sibuk di depan atasan” lebih dihargai daripada hasil kerja nyata.
-
Kurangnya apresiasi non-materi.Tidak semua penghargaan harus berupa uang. Namun ketika organisasi jarang memberikan apresiasi moral seperti penghargaan publik, sertifikat, atau pujian, maka pekerja keras merasa diabaikan.
-
Minimnya komunikasi dua arah.Banyak pimpinan tidak menyadari bahwa apresiasi kecil bisa menjadi bahan bakar motivasi besar. Sebaliknya, diamnya pimpinan bisa dimaknai sebagai ketidakpedulian.
Ironisnya, kadang pimpinan yang akhirnya memberi apresiasi kepada mereka yang benar-benar bekerja keras justru memiliki niat terselubung. Mereka menjadikan penghargaan itu sebagai alat untuk mengikat loyalitas personal, bukan sebagai bentuk penghormatan profesional.
Padahal, mengapresiasi seseorang atas kerja nyatanya tidak berarti kemudian kita berhak memperlakukannya sesuka hati. Tidak berarti pimpinan bisa memerintahkan apa pun, bahkan untuk kepentingan pribadinya, hanya karena merasa telah memberi penghargaan lebih.
Sikap semacam ini menciptakan relasi kuasa yang timpang, di mana apresiasi berubah menjadi alat kendali, bukan bentuk penghormatan. Inilah yang sering menjadi awal keretakan moral dalam organisasi: ketika penghargaan dijadikan alat manipulasi, bukan motivasi.
Ungkapan “yang kerja keras dapat ucapan terima kasih, yang kerja santai dapat transferan terima kasih” seharusnya menjadi cermin bagi banyak institusi untuk berbenah. Dunia kerja akan menjadi tempat yang lebih sehat jika penghargaan diberikan berdasarkan kontribusi nyata, bukan sekadar kedekatan atau kepandaian berbicara.
Apresiasi yang adil bukan hanya meningkatkan semangat individu, tetapi juga memperkuat fondasi moral organisasi. Karena pada akhirnya, keberhasilan sebuah lembaga bukan ditentukan oleh siapa yang paling banyak tertawa, tetapi oleh siapa yang paling tulus bekerja.

Tidak ada komentar