Runtuh Tanpa Suara
Tidak ada yang tahu…
betapa berat batu yang kupikul
karena aku selalu tersenyum.
Tidak ada yang melihat…
dinding-dinding di dalam dadaku
retak sedikit demi sedikit,
karena aku selalu berkata
“aku baik-baik saja.”
Aku patah hati,
tapi hatiku tidak kuizinkan menangis di depan orang.
Aku kecewa,
tapi bibirku belajar mengubah rasa getir jadi tawa tipis.
Malam adalah satu-satunya saksi,
ketika semua kata yang kutelan
mengendap di tenggorokan
seperti duri yang tak bisa ditarik.
Aku berjalan setiap hari
dengan dada yang penuh serpihan,
dan tidak ada yang pernah bertanya
berapa banyak luka yang harus kusembunyikan
hanya agar dunia mengira aku kuat.
Kadang aku ingin roboh,
membiarkan semuanya jatuh,
tapi…
di dunia yang keras ini,
tidak ada tempat untuk runtuh dengan suara keras.
Maka aku runtuh
pelan-pelan…
diam-diam…
sendirian.
Menyapa Sunyi
Aku duduk di antara jam-jam yang lengang,
saat suara dunia perlahan mengendap
dan hanya detak hati
yang masih berani bicara.
Sunyi datang bukan membawa kehilangan,
melainkan ruang yang tak diminta,
tapi selalu tersedia
saat segalanya menjauh.
Aku menoleh,
dan untuk pertama kalinya
kulihat wajah sepi:
bukan dingin,
melainkan jernih.
Ia mengajakku bicara tanpa suara,
tentang luka yang tak sempat tumbuh,
tentang rindu yang belum punya nama,
dan tentang diriku sendiri
yang sering luput dari sapa.
Di balik diam yang panjang,
ada pelajaran yang tak bisa dibaca
kecuali dengan rasa.
Kini aku tahu,
sunyi bukan musuh yang harus kutaklukkan
tapi sahabat lama
yang menunggu
untuk dikenali.

Tidak ada komentar