cerpen

Masih Tentang Dirinya - Cerpen

Oktober 27, 2025
0 Komentar
Beranda
cerpen
Masih Tentang Dirinya - Cerpen

Masih Tentang Dirinya

By Walies_MH

Beberapa tahun yang lalu, aku jatuh hati pada seseorang yang bahkan tidak tahu aku ada. Ia adalah bagian dari lingkaran sosialku, tetapi tak pernah benar-benar dekat. Aku menyukai caranya tertawa, caranya memperlakukan orang lain, dan bagaimana ia membuat dunia terlihat lebih tenang hanya dengan senyuman. Ada kehangatan yang terpancar dari dirinya, bukan karena parasnya semata, tetapi karena cara ia membawa diri, penuh ketulusan dan kesederhanaan.

Namun, aku sadar betul siapa diriku. Aku bukan siapa-siapa. Terlalu biasa untuk mencuri perhatian seseorang sepertinya. Maka, aku memilih mencintainya dalam diam. Diam yang penuh harap, namun juga penuh takut. Harap jika suatu hari semesta berpihak, dan takut jika perasaan ini tak pernah sampai.

Hari demi hari, aku mencoba menghapus perasaan itu, menyibukkan diri, menghindari pertemuan, menutup pintu harapan rapat-rapat. Karena aku pikir, cinta yang tak terbalas hanya akan berujung luka. Tapi anehnya, semakin aku menjauh, semakin sering ia hadir, bukan secara fisik, tapi dalam pikiranku, dalam angan, bahkan dalam mimpi-mimpi yang entah bagaimana terasa terlalu nyata.

Dan yang paling sering dalam doaku.

“Aku ingin bersamanya, Tuhan, jika Engkau memang mengizinkan. Tapi jika tidak, jauhkan aku dengan cara yang paling lembut.” Itu doaku setiap selesai salat, dalam sunyi dan dalam gemetar yang bahkan tak bisa aku kendalikan. Aku tidak memaksa. Tidak memohon dengan keras. Aku hanya mengetuk langit dengan pelan, membawa namanya di antara harap dan tawakal.

Waktu terus berjalan. Aku menjalani hari-hari seperti biasa, memperbaiki diri sedikit demi sedikit. Aku belajar mengikhlaskan, meski tak benar-benar melepaskan. Aku mencoba berdamai dengan kenyataan bahwa mungkin dia tidak akan pernah tahu. Atau tahu, tapi memilih diam.

Namun ada satu hal yang tak berubah: detak jantungku yang selalu berbeda saat namanya terdengar. Entah dari percakapan teman, entah muncul tiba-tiba di media sosial, atau bahkan saat ada orang lain yang kebetulan memiliki nama yang sama, hatiku masih bereaksi. Seolah-olah alam bawah sadarku menolak untuk benar-benar melupakan. Mungkin cinta diam-diam itu tak pernah mati. Ia hanya memilih diam, bukan hilang.

Yang ironis, ia kini semakin menjauh. Bukan secara fisik, tapi secara emosional. Kami seperti dua orang yang tahu satu sama lain tapi tidak lagi saling menyapa. Tidak ada percakapan, tidak ada interaksi. Hanya ada ingatan samar yang tidak sempat menjadi kisah.

Aku pernah bertanya dalam hati, apakah ini cara Tuhan menyuruhku berhenti? , Apakah ini tanda bahwa aku harus melangkah dan melepaskan?

Namun beberapa bulan lalu, semesta seolah bermain-main dengan harapanku. Seorang teman dekatnya, dalam satu percakapan tak terduga, berkata dengan suara hati-hati, “Sebenarnya dia juga punya rasa, tapi dia masih trauma dengan masa lalunya. Dia takut memulai lagi.”

Aku diam. Kalimat itu menghantamku seperti badai yang tak aku duga. Ada haru yang menyelinap, tapi juga kesedihan yang lebih dalam. Karena ternyata bukan aku saja yang merasakan, tapi kami sama-sama terjebak dalam ketakutan yang tak terucap. Ia takut melangkah, dan aku takut berharap terlalu tinggi.

Sejak saat itu, pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan. Kalau memang saling punya rasa, kenapa tidak bisa bersama? Tapi aku tahu, mencintai orang yang sedang menyembuhkan diri dari masa lalunya bukan perkara sederhana. Aku pun tidak ingin menjadi beban dalam proses penyembuhannya. Yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu dalam jarak, dalam doa, dan dalam diam.

Aku tak pernah ingin memaksa semesta, apalagi memaksa dia. Yang aku inginkan hanyalah: jika dia memang ditakdirkan untukku, semoga Tuhan menjaga hatinya untukku, dan menjaga hatiku agar tetap sabar hingga waktunya tiba. Tapi jika bukan, semoga aku bisa melepaskannya dengan penuh ketenangan, tanpa ada penyesalan.

Kini, aku masih menyebut namanya dalam doa. Bukan dengan air mata seperti dulu, tapi dengan pasrah yang perlahan-lahan menjadi dewasa. Aku sudah tak lagi berharap banyak, tapi bukan berarti aku berhenti berharap. Hanya saja, kini aku lebih percaya bahwa waktu Tuhan selalu lebih baik daripada rencana manusia.

Dan saat malam datang, seperti biasa aku menatap langit dan berbisik, “Tuhan, jika dia memang bukan takdirku, mohon jangan hilangkan rasa teduh yang pernah Engkau hadirkan melalui dirinya. Tapi jika dia jalanku, tuntunlah kami untuk saling menemukan, bukan dalam tergesa, tapi dalam kesiapan dan keridhaan-Mu.”

Cinta ini belum selesai. Tapi biarlah semesta dan Tuhan yang menyempurnakannya.

 

“Cinta tak selalu harus memiliki saat itu juga; kadang yang terindah adalah mencintai dalam diam, sambil percaya bahwa Tuhan sedang menyiapkan waktu yang tepat.”


Tidak ada komentar