Masih Tentang Dirinya
Beberapa tahun
yang lalu, aku jatuh hati pada seseorang yang bahkan tidak tahu aku ada. Ia
adalah bagian dari lingkaran sosialku, tetapi tak pernah benar-benar dekat. Aku
menyukai caranya tertawa, caranya memperlakukan orang lain, dan bagaimana ia
membuat dunia terlihat lebih tenang hanya dengan senyuman. Ada kehangatan yang
terpancar dari dirinya, bukan karena parasnya semata, tetapi karena cara ia
membawa diri, penuh ketulusan dan kesederhanaan.
Namun, aku
sadar betul siapa diriku. Aku bukan siapa-siapa. Terlalu biasa untuk mencuri
perhatian seseorang sepertinya. Maka, aku memilih mencintainya dalam diam. Diam
yang penuh harap, namun juga penuh takut. Harap jika suatu hari semesta
berpihak, dan takut jika perasaan ini tak pernah sampai.
Hari demi hari,
aku mencoba menghapus perasaan itu, menyibukkan diri, menghindari pertemuan,
menutup pintu harapan rapat-rapat. Karena aku pikir, cinta yang tak terbalas
hanya akan berujung luka. Tapi anehnya, semakin aku menjauh, semakin sering ia
hadir, bukan secara fisik, tapi dalam pikiranku, dalam angan, bahkan dalam
mimpi-mimpi yang entah bagaimana terasa terlalu nyata.
Dan yang paling
sering dalam doaku.
“Aku ingin
bersamanya, Tuhan, jika Engkau memang mengizinkan. Tapi jika tidak, jauhkan aku
dengan cara yang paling lembut.” Itu doaku setiap selesai salat, dalam sunyi
dan dalam gemetar yang bahkan tak bisa aku kendalikan. Aku tidak memaksa. Tidak
memohon dengan keras. Aku hanya mengetuk langit dengan pelan, membawa namanya
di antara harap dan tawakal.
Waktu terus
berjalan. Aku menjalani hari-hari seperti biasa, memperbaiki diri sedikit demi
sedikit. Aku belajar mengikhlaskan, meski tak benar-benar melepaskan. Aku
mencoba berdamai dengan kenyataan bahwa mungkin dia tidak akan pernah tahu.
Atau tahu, tapi memilih diam.
Namun ada satu
hal yang tak berubah: detak jantungku yang selalu berbeda saat namanya
terdengar. Entah dari percakapan teman, entah muncul tiba-tiba di media sosial,
atau bahkan saat ada orang lain yang kebetulan memiliki nama yang sama, hatiku
masih bereaksi. Seolah-olah alam bawah sadarku menolak untuk benar-benar
melupakan. Mungkin cinta diam-diam itu tak pernah mati. Ia hanya memilih diam,
bukan hilang.
Yang ironis, ia
kini semakin menjauh. Bukan secara fisik, tapi secara emosional. Kami seperti
dua orang yang tahu satu sama lain tapi tidak lagi saling menyapa. Tidak ada
percakapan, tidak ada interaksi. Hanya ada ingatan samar yang tidak sempat
menjadi kisah.
Aku pernah
bertanya dalam hati, apakah ini cara Tuhan menyuruhku berhenti? , Apakah ini
tanda bahwa aku harus melangkah dan melepaskan?
Namun beberapa
bulan lalu, semesta seolah bermain-main dengan harapanku. Seorang teman
dekatnya, dalam satu percakapan tak terduga, berkata dengan suara hati-hati, “Sebenarnya
dia juga punya rasa, tapi dia masih trauma dengan masa lalunya. Dia takut
memulai lagi.”
Aku diam.
Kalimat itu menghantamku seperti badai yang tak aku duga. Ada haru yang
menyelinap, tapi juga kesedihan yang lebih dalam. Karena ternyata bukan aku
saja yang merasakan, tapi kami sama-sama terjebak dalam ketakutan yang tak
terucap. Ia takut melangkah, dan aku takut berharap terlalu tinggi.
Sejak saat itu,
pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan. Kalau memang saling punya rasa, kenapa
tidak bisa bersama? Tapi aku tahu, mencintai orang yang sedang menyembuhkan
diri dari masa lalunya bukan perkara sederhana. Aku pun tidak ingin menjadi
beban dalam proses penyembuhannya. Yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu dalam
jarak, dalam doa, dan dalam diam.
Aku tak pernah
ingin memaksa semesta, apalagi memaksa dia. Yang aku inginkan hanyalah: jika
dia memang ditakdirkan untukku, semoga Tuhan menjaga hatinya untukku, dan
menjaga hatiku agar tetap sabar hingga waktunya tiba. Tapi jika bukan, semoga
aku bisa melepaskannya dengan penuh ketenangan, tanpa ada penyesalan.
Kini, aku masih
menyebut namanya dalam doa. Bukan dengan air mata seperti dulu, tapi dengan
pasrah yang perlahan-lahan menjadi dewasa. Aku sudah tak lagi berharap banyak,
tapi bukan berarti aku berhenti berharap. Hanya saja, kini aku lebih percaya
bahwa waktu Tuhan selalu lebih baik daripada rencana manusia.
Dan saat malam
datang, seperti biasa aku menatap langit dan berbisik, “Tuhan, jika dia memang
bukan takdirku, mohon jangan hilangkan rasa teduh yang pernah Engkau hadirkan
melalui dirinya. Tapi jika dia jalanku, tuntunlah kami untuk saling menemukan,
bukan dalam tergesa, tapi dalam kesiapan dan keridhaan-Mu.”
Cinta ini belum
selesai. Tapi biarlah semesta dan Tuhan yang menyempurnakannya.
“Cinta tak selalu harus memiliki saat itu juga; kadang yang terindah adalah mencintai dalam diam, sambil percaya bahwa Tuhan sedang menyiapkan waktu yang tepat.”

Tidak ada komentar