esai

Ironi di Balik Kampanye Literasi: Ketika Membaca Hanya Berhenti di Judul

Oktober 31, 2025
0 Komentar
Beranda
esai
Ironi di Balik Kampanye Literasi: Ketika Membaca Hanya Berhenti di Judul

Ironi di Balik Kampanye Literasi: Ketika Membaca Hanya Berhenti di Judul


Pendahuluan: Literasi yang Ramai di Permukaan

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah literasi telah menjelma menjadi semacam mantra baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi, berbagai lembaga pendidikan berlomba-lomba menggelar kegiatan bertajuk Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Spanduk dan baliho dengan tagline “Budayakan Literasi, Majukan Generasi” menghiasi dinding-dinding kelas, seminar literasi diselenggarakan di berbagai daerah, dan lomba menulis menjadi agenda rutin tahunan di banyak sekolah.

Upaya tersebut hadir dari kebijakan dari pemerintah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5748/D/BS/2018 tentang Pembentukan Satuan Tugas Gerakan Literasi Sekolah, sebagai langkah strategis dalam memperkuat ekosistem literasi di lingkungan pendidikan. Selain itu, hadirnya Permendikbudristek Nomor 17 Tahun 2021 tentang Asesmen Nasional semakin menegaskan posisi literasi sebagai salah satu indikator utama mutu pendidikan nasional. Pada Pasal 9 peraturan tersebut, disebutkan bahwa salah satu fokus utama asesmen nasional adalah mengukur kemampuan literasi dan numerasi peserta didik yang kemudian menjadi dasar penyusunan rapor pendidikan di setiap satuan pendidikan.

Namun, di balik gegap gempita kampanye literasi tersebut, terselip ironi yang patut direnungkan. Semangat literasi di banyak sekolah sering kali berhenti pada tataran slogan dan pelaporan administratif, bukan pada perubahan perilaku dan budaya berpikir yang sejati. Literasi kerap dijadikan simbol keberhasilan program, tetapi belum benar-benar menjelma menjadi praktik nyata dalam proses pembelajaran. Ia ramai disuarakan dalam berbagai forum, namun jarang dihayati sebagai nilai yang hidup dan melekat dalam keseharian siswa, guru, maupun masyarakat sekolah. Bahkan, lembaga yang berperan sebagai pengawas dan pembina sekolah pun terkadang masih terjebak dalam paradigma formalistik, lebih fokus pada pemenuhan indikator administrasi ketimbang menumbuhkan semangat literasi yang substantif dan berkelanjutan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa literasi di Indonesia masih cenderung bersifat seremonial dan simbolik, belum menyentuh aspek substansialnya sebagai kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan produktif. Banyak kegiatan literasi hanya menekankan pada aspek membaca dan menulis tanpa diimbangi dengan upaya menumbuhkan kemampuan memahami makna, menganalisis informasi, serta mengaktualisasikannya dalam tindakan nyata. Akibatnya, literasi lebih sering dipahami sebagai kegiatan formal, bukan sebagai proses pembentukan karakter dan nalar intelektual yang mendalam.

Maka, tantangan terbesar dunia pendidikan saat ini bukan hanya bagaimana menumbuhkan minat membaca atau menulis, tetapi bagaimana mengubah literasi dari sekadar program menjadi budaya. Budaya berpikir, berdialog, dan beraksi yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pendidikan maupun masyarakat luas.

Makna Literasi yang Sebenarnya

Menurut Kamus Online Merriam–Webster, literasi diartikan sebagai kemampuan atau kualitas melek aksara dalam diri seseorang, yang mencakup kemampuan membaca, menulis, serta mengenali dan memahami ide-ide secara visual. Sementara itu, National Institute for Literacy mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.” Definisi ini menunjukkan bahwa literasi dipahami dari perspektif yang lebih kontekstual, di mana makna literasi dapat berbeda tergantung pada keterampilan dan kebutuhan yang relevan dengan lingkungan sosial seseorang.

Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa literasi tidak sekadar dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis secara teknis. Lebih dari itu, literasi merupakan kemampuan komprehensif untuk memahami, menganalisis, menafsirkan, serta mengomunikasikan informasi secara efektif dan bertanggung jawab. Literasi berperan penting sebagai fondasi dalam menghadapi derasnya arus informasi di era globalisasi dan digitalisasi yang menuntut kecepatan berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan.

Makna literasi sejati menuntut seseorang untuk tidak hanya membaca teks, tetapi juga membaca konteks. Artinya, literasi mengajak individu untuk mampu menangkap pesan tersirat di balik kata-kata, memahami maksud penulis, serta mengaitkannya dengan realitas sosial, budaya, dan moral di sekitarnya. Literasi bukanlah aktivitas pasif dalam menerima informasi, melainkan proses aktif dalam menilai, mengkritisi, dan mengolah informasi hingga melahirkan pemahaman yang mendalam serta tindakan yang bijak.

Dengan demikian, individu yang literat bukan hanya mereka yang pandai membaca buku, melainkan juga mampu membaca situasi, memahami nilai, serta menumbuhkan empati terhadap sesama. Literasi sejati melahirkan pribadi yang berpikir kritis, komunikatif, kreatif, dan peka terhadap persoalan sosial di lingkungannya. Dalam konteks pendidikan, literasi hendaknya menjadi bagian integral dari pembentukan karakter dan budaya belajar peserta didik, bukan semata-mata keterampilan akademik yang diajarkan di ruang kelas.

Realitas yang Menggelisahkan

Sayangnya, praktik literasi di lapangan masih jauh dari cita-cita ideal yang diharapkan. Tidak sedikit lembaga pendidikan yang menjadikan kegiatan literasi sekadar formalitas program tahunan, sekadar memenuhi instruksi atau laporan kinerja. Ironi yang sama juga kadang terlihat di tingkat dinas, di mana semangat literasi berhenti pada tataran kebijakan tanpa diikuti implementasi yang bermakna. Bahkan dalam urusan administratif pun, lemahnya budaya literasi tampak begitu nyata.

Sering kali, ketika informasi, mandat, atau instruksi datang dari atasan, surat tersebut langsung diteruskan tanpa dibaca dan dipahami secara cermat. Mungkin, hanya judul atau perihal surat yang diperhatikan, sementara isi dan maknanya diabaikan. Akibatnya, pesan yang seharusnya dipahami secara utuh justru disalahartikan, menimbulkan kesalahpahaman, dan membuat komunikasi menjadi kabur di antara jenjang birokrasi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa problem literasi di Indonesia tidak semata-mata berkaitan dengan rendahnya minat baca buku, tetapi lebih dalam dari itu, yakni lemahnya kebiasaan memahami makna, kemampuan merefleksikan pesan, serta keterampilan berkomunikasi secara efektif dan bernalar kritis. Literasi sejati seharusnya tidak berhenti pada aktivitas membaca atau menulis, tetapi meluas hingga pada cara berpikir, cara menyikapi informasi, dan cara berinteraksi dalam kehidupan profesional maupun sosial.

Lebih memprihatinkan lagi, di banyak lembaga masih terlihat adanya ego sektoral antarbidang dan antartingkat. Alih-alih memperkuat kerja sama dan komunikasi lintas divisi, masing-masing sibuk ingin tampil paling unggul dan paling “aktif”. Padahal, literasi sejati justru tumbuh dari dialog dan kolaborasi, bukan dari persaingan pencitraan.

Sebagaimana diingatkan Najwa Shihab, “Bangsa yang literat adalah bangsa yang mampu membaca kenyataan, bukan hanya membaca huruf.” Pernyataan ini menggugah kita bahwa literasi bukan tentang banyaknya buku yang dibaca, tetapi tentang seberapa dalam kita memahami makna di balik setiap informasi yang datang.

Pramoedya Ananta Toer pun pernah menulis dengan tajam:

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah.”

Kata-kata Pramoedya menjadi pengingat bahwa literasi bukan sekadar kegiatan, melainkan kesadaran intelektual - untuk memahami, merefleksikan, dan menuliskan kembali gagasan sebagai bentuk tanggung jawab berpikir.

Literasi tidak lahir dari acara besar, tapi dari kebiasaan kecil yang konsisten: membaca dengan saksama sebelum meneruskan informasi, memahami informasi sebelum menyampaikan, mendengarkan pendapat orang lain sebelum menilai, dan menulis bukan untuk dipuji, melainkan untuk menyampaikan gagasan jernih.

Ketika nilai-nilai itu tumbuh di lingkungan kerja dan pendidikan, barulah literasi menjadi budaya, bukan jargon.

Penutup: Dari Membaca Buku ke Membaca Makna

Gerakan literasi akan kehilangan rohnya apabila hanya menjadi hiasan pidato, deretan spanduk, dan baliho berwarna cerah di dinding sekolah. Literasi sejati seharusnya hidup dalam cara berpikir, cara memahami, dan cara berkomunikasi setiap individu di lingkungan pendidikan maupun birokrasi. Ia bukan sekadar kegiatan membaca dan menulis, melainkan proses terus-menerus untuk menumbuhkan kesadaran, kepekaan, dan kebijaksanaan dalam menyikapi setiap informasi.

Bangsa yang literat bukanlah bangsa yang hanya sibuk membaca buku, tetapi bangsa yang mampu membaca isi pikirannya sendiri, mendengarkan suara orang lain dengan empati, serta menuliskannya kembali dengan kejujuran dan tanggung jawab moral. Literasi sejati tidak berhenti di ruang kelas, tetapi berdenyut dalam kehidupan sehari-hari, membentuk cara manusia berpikir, berbahasa, dan bertindak.

Dan mungkin, perubahan besar itu bisa dimulai dari sesuatu yang sederhana - membaca bukan hanya judulnya, tetapi juga memahami isi dan maknanya. Karena di situlah awal dari literasi yang hidup: ketika membaca menjadi jalan menuju kesadaran, bukan sekadar kebiasaan.


Tidak ada komentar