Ironi di Balik Kampanye Literasi: Ketika Membaca Hanya Berhenti di Judul
Pendahuluan: Literasi yang Ramai di Permukaan
Dalam
beberapa tahun terakhir, istilah literasi telah menjelma menjadi semacam mantra
baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Dari jenjang sekolah dasar hingga
perguruan tinggi, berbagai lembaga pendidikan berlomba-lomba menggelar kegiatan
bertajuk Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Spanduk dan baliho dengan tagline
“Budayakan Literasi, Majukan Generasi” menghiasi dinding-dinding kelas, seminar
literasi diselenggarakan di berbagai daerah, dan lomba menulis menjadi agenda
rutin tahunan di banyak sekolah.
Upaya
tersebut hadir dari kebijakan dari pemerintah. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
menerbitkan Surat Edaran Nomor 5748/D/BS/2018 tentang Pembentukan Satuan Tugas
Gerakan Literasi Sekolah, sebagai langkah strategis dalam memperkuat ekosistem
literasi di lingkungan pendidikan. Selain itu, hadirnya Permendikbudristek
Nomor 17 Tahun 2021 tentang Asesmen Nasional semakin menegaskan posisi literasi
sebagai salah satu indikator utama mutu pendidikan nasional. Pada Pasal 9 peraturan
tersebut, disebutkan bahwa salah satu fokus utama asesmen nasional adalah
mengukur kemampuan literasi dan numerasi peserta didik yang kemudian menjadi
dasar penyusunan rapor pendidikan di setiap satuan pendidikan.
Namun,
di balik gegap gempita kampanye literasi tersebut, terselip ironi yang patut
direnungkan. Semangat literasi di banyak sekolah sering kali berhenti pada
tataran slogan dan pelaporan administratif, bukan pada perubahan perilaku dan
budaya berpikir yang sejati. Literasi kerap dijadikan simbol keberhasilan
program, tetapi belum benar-benar menjelma menjadi praktik nyata dalam proses
pembelajaran. Ia ramai disuarakan dalam berbagai forum, namun jarang dihayati
sebagai nilai yang hidup dan melekat dalam keseharian siswa, guru, maupun
masyarakat sekolah. Bahkan, lembaga yang berperan sebagai pengawas dan pembina
sekolah pun terkadang masih terjebak dalam paradigma formalistik, lebih fokus
pada pemenuhan indikator administrasi ketimbang menumbuhkan semangat literasi
yang substantif dan berkelanjutan.
Fenomena
ini menunjukkan bahwa literasi di Indonesia masih cenderung bersifat seremonial
dan simbolik, belum menyentuh aspek substansialnya sebagai kemampuan berpikir
kritis, reflektif, dan produktif. Banyak kegiatan literasi hanya menekankan
pada aspek membaca dan menulis tanpa diimbangi dengan upaya menumbuhkan
kemampuan memahami makna, menganalisis informasi, serta mengaktualisasikannya
dalam tindakan nyata. Akibatnya, literasi lebih sering dipahami sebagai
kegiatan formal, bukan sebagai proses pembentukan karakter dan nalar
intelektual yang mendalam.
Maka,
tantangan terbesar dunia pendidikan saat ini bukan hanya bagaimana menumbuhkan
minat membaca atau menulis, tetapi bagaimana mengubah literasi dari sekadar
program menjadi budaya. Budaya berpikir, berdialog, dan beraksi yang mengakar
dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pendidikan maupun masyarakat luas.
Makna Literasi yang Sebenarnya
Menurut
Kamus Online Merriam–Webster, literasi diartikan sebagai kemampuan atau
kualitas melek aksara dalam diri seseorang, yang mencakup kemampuan membaca,
menulis, serta mengenali dan memahami ide-ide secara visual. Sementara itu,
National Institute for Literacy mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan
individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah
pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan
masyarakat.” Definisi ini menunjukkan bahwa literasi dipahami dari perspektif
yang lebih kontekstual, di mana makna literasi dapat berbeda tergantung pada
keterampilan dan kebutuhan yang relevan dengan lingkungan sosial seseorang.
Dari
kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa literasi tidak sekadar
dimaknai sebagai kemampuan membaca dan menulis secara teknis. Lebih dari itu,
literasi merupakan kemampuan komprehensif untuk memahami, menganalisis,
menafsirkan, serta mengomunikasikan informasi secara efektif dan bertanggung
jawab. Literasi berperan penting sebagai fondasi dalam menghadapi derasnya arus
informasi di era globalisasi dan digitalisasi yang menuntut kecepatan berpikir
dan ketepatan dalam mengambil keputusan.
Makna
literasi sejati menuntut seseorang untuk tidak hanya membaca teks, tetapi juga
membaca konteks. Artinya, literasi mengajak individu untuk mampu menangkap
pesan tersirat di balik kata-kata, memahami maksud penulis, serta mengaitkannya
dengan realitas sosial, budaya, dan moral di sekitarnya. Literasi bukanlah
aktivitas pasif dalam menerima informasi, melainkan proses aktif dalam menilai,
mengkritisi, dan mengolah informasi hingga melahirkan pemahaman yang mendalam
serta tindakan yang bijak.
Dengan
demikian, individu yang literat bukan hanya mereka yang pandai membaca buku,
melainkan juga mampu membaca situasi, memahami nilai, serta menumbuhkan empati
terhadap sesama. Literasi sejati melahirkan pribadi yang berpikir kritis,
komunikatif, kreatif, dan peka terhadap persoalan sosial di lingkungannya.
Dalam konteks pendidikan, literasi hendaknya menjadi bagian integral dari
pembentukan karakter dan budaya belajar peserta didik, bukan semata-mata
keterampilan akademik yang diajarkan di ruang kelas.
Realitas yang Menggelisahkan
Sayangnya,
praktik literasi di lapangan masih jauh dari cita-cita ideal yang diharapkan.
Tidak sedikit lembaga pendidikan yang menjadikan kegiatan literasi sekadar
formalitas program tahunan, sekadar memenuhi instruksi atau laporan kinerja.
Ironi yang sama juga kadang terlihat di tingkat dinas, di mana semangat
literasi berhenti pada tataran kebijakan tanpa diikuti implementasi yang
bermakna. Bahkan dalam urusan administratif pun, lemahnya budaya literasi
tampak begitu nyata.
Sering
kali, ketika informasi, mandat, atau instruksi datang dari atasan, surat
tersebut langsung diteruskan tanpa dibaca dan dipahami secara cermat. Mungkin,
hanya judul atau perihal surat yang diperhatikan, sementara isi dan maknanya
diabaikan. Akibatnya, pesan yang seharusnya dipahami secara utuh justru
disalahartikan, menimbulkan kesalahpahaman, dan membuat komunikasi menjadi
kabur di antara jenjang birokrasi.
Kenyataan
ini menunjukkan bahwa problem literasi di Indonesia tidak semata-mata berkaitan
dengan rendahnya minat baca buku, tetapi lebih dalam dari itu, yakni lemahnya
kebiasaan memahami makna, kemampuan merefleksikan pesan, serta keterampilan
berkomunikasi secara efektif dan bernalar kritis. Literasi sejati seharusnya
tidak berhenti pada aktivitas membaca atau menulis, tetapi meluas hingga pada
cara berpikir, cara menyikapi informasi, dan cara berinteraksi dalam kehidupan
profesional maupun sosial.
Lebih
memprihatinkan lagi, di banyak lembaga masih terlihat adanya ego sektoral
antarbidang dan antartingkat. Alih-alih memperkuat kerja sama dan komunikasi
lintas divisi, masing-masing sibuk ingin tampil paling unggul dan paling
“aktif”. Padahal, literasi sejati justru tumbuh dari dialog dan kolaborasi,
bukan dari persaingan pencitraan.
Sebagaimana
diingatkan Najwa Shihab, “Bangsa yang literat adalah bangsa yang mampu membaca
kenyataan, bukan hanya membaca huruf.” Pernyataan ini menggugah kita bahwa
literasi bukan tentang banyaknya buku yang dibaca, tetapi tentang seberapa
dalam kita memahami makna di balik setiap informasi yang datang.
Pramoedya
Ananta Toer pun pernah menulis dengan tajam:
“Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan sejarah.”
Kata-kata
Pramoedya menjadi pengingat bahwa literasi bukan sekadar kegiatan, melainkan
kesadaran intelektual - untuk memahami, merefleksikan, dan menuliskan kembali
gagasan sebagai bentuk tanggung jawab berpikir.
Literasi
tidak lahir dari acara besar, tapi dari kebiasaan kecil yang konsisten: membaca
dengan saksama sebelum meneruskan informasi, memahami informasi sebelum
menyampaikan, mendengarkan pendapat orang lain sebelum menilai, dan menulis
bukan untuk dipuji, melainkan untuk menyampaikan gagasan jernih.
Ketika
nilai-nilai itu tumbuh di lingkungan kerja dan pendidikan, barulah literasi
menjadi budaya, bukan jargon.
Penutup: Dari Membaca Buku ke Membaca Makna
Gerakan
literasi akan kehilangan rohnya apabila hanya menjadi hiasan pidato, deretan
spanduk, dan baliho berwarna cerah di dinding sekolah. Literasi sejati
seharusnya hidup dalam cara berpikir, cara memahami, dan cara berkomunikasi
setiap individu di lingkungan pendidikan maupun birokrasi. Ia bukan sekadar
kegiatan membaca dan menulis, melainkan proses terus-menerus untuk menumbuhkan
kesadaran, kepekaan, dan kebijaksanaan dalam menyikapi setiap informasi.
Bangsa
yang literat bukanlah bangsa yang hanya sibuk membaca buku, tetapi bangsa yang
mampu membaca isi pikirannya sendiri, mendengarkan suara orang lain dengan
empati, serta menuliskannya kembali dengan kejujuran dan tanggung jawab moral.
Literasi sejati tidak berhenti di ruang kelas, tetapi berdenyut dalam kehidupan
sehari-hari, membentuk cara manusia berpikir, berbahasa, dan bertindak.
Dan
mungkin, perubahan besar itu bisa dimulai dari sesuatu yang sederhana - membaca
bukan hanya judulnya, tetapi juga memahami isi dan maknanya. Karena di situlah
awal dari literasi yang hidup: ketika membaca menjadi jalan menuju kesadaran,
bukan sekadar kebiasaan.

Tidak ada komentar