Kita Tak Pernah Benar-benar Memiliki
Waktu menunjukkan lewat tengah malam. Di antara sepi yang
menggigilkan jendela, aku terlelap dalam tidur yang begitu tenang. Rasanya
seperti tidur siang di bawah matahari hangat, padahal udara di luar dingin, dan
lampu kamarku temaram. Dalam mimpi itu, aku sedang rebah di atas dunia yang tak
kumengerti, tapi kurasa itu rumah.
Lalu, seseorang datang.
Bukan orang asing.
Bukan sekadar bayangan kabur.
Dia - Anindya.
Namanya saja sudah cukup membuat napasku tercekat. Setiap
huruf di namanya terasa seperti denyut jantung yang memanggil masa lalu.
Ia datang bersama satu sosok lain yang samar, begitu kabur hingga aku tak bisa
menebaknya siapa. Tapi Anindya mendekat. Dengan langkah pelan, seolah tak ingin
membangunkan malam. Ia tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika dunia
masih sederhana dan kami masih bisa bercanda tanpa batas waktu.
Ia membangunkanku dari tidur dalam mimpi.
Senyumnya seperti cahaya redup yang memantul di kaca jendela setelah hujan.
Hatiku bergetar, antara bahagia dan takut.
Bahagia, karena bisa melihatnya lagi. Takut, karena sadar ini hanya mimpi.
Dalam kenyataan, kami bahkan sudah nyaris tak saling sapa.
Hanya menyapa lewat tatapan singkat yang segera berpaling. Tapi malam itu,
dalam mimpi, Anindya begitu nyata. Begitu hidup, seolah jarak yang panjang dan
diam yang dingin tak pernah ada di antara kami.
Tiba-tiba dadaku sesak. Entah karena terlalu bahagia, atau
karena terlalu banyak rindu yang tak pernah sempat tumpah. Melihatku terengah,
Anindya sigap seperti dulu, seperti seseorang yang tahu caranya menenangkan. Ia
bergegas ke dalam rumah, mengambil tabung oksigen, lalu kembali. Dengan lembut
ia memasangkan selangnya ke hidungku. Sentuhannya ringan, seperti doa.
“Tarik napas pelan-pelan,” katanya lirih.
Dan anehnya, sesak itu reda.
Seolah tak terjadi apa-apa, ia tersenyum lagi. “Sudah
mendingan?”
Aku hanya mengangguk. Lalu bersiap pergi. Tapi langkahku terhenti saat ia
menoleh.
“Eh, mau ke mana?” tanyanya.
“Mau pulang. Mandi. Salat,” jawabku.
Ia mengangguk pelan, lalu berkata,
“Jangan lama-lama ya. Nanti kita pergi bareng ke acara itu.”
Aku tersenyum. Entah acara apa yang ia maksud, tapi aku
mengangguk saja, seperti orang yang takut kehilangan.
Sebelum benar-benar berbalik, Anindya sempat berpesan lagi,
“Jangan pergi sama orang lain, ya.”
Aku tahu siapa yang ia maksud - temanku sendiri.
Seseorang yang juga dekat denganku, dan entah kenapa, akhir-akhir ini juga
sering bersamanya.
Aku pergi sebentar. Tapi ketika kembali, dia tak ada.
Kosong.
Hening.
Dan yang tersisa hanya udara dingin yang menusuk kulit mimpi.
Rasa kehilangan itu tak masuk akal. Bagaimana mungkin aku
kehilangan seseorang yang bahkan dalam mimpi pun tak sepenuhnya nyata? Tapi
hatiku sakit.
Aku terbangun. Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari.
Aku menatap langit-langit kamar, mencoba memahami apa yang
baru saja terjadi. Tapi sebelum sempat berpikir panjang, aku menutup mata lagi.
Dan semesta, entah kenapa, begitu baik malam itu, ia mengizinkan mimpiku
bersambung.
Aku kini berada di sebuah gedung besar. Ramai. Megah. Cahaya
berkelap di mana-mana.
Mungkin inilah “acara” yang dimaksud Anindya.
Aku datang sendirian, berjalan di antara banyak wajah yang tak kukenal.
Dan di kejauhan, kulihat dia.
Anindya.
Bersama temanku.
Mereka tertawa.
Berdua.
Dan dalam sekejap, ada sesuatu yang retak di dadaku. Tanpa suara, tapi nyerinya
nyata.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku tak keluar. Aku hanya
berdiri, menatap dari jauh, seperti penonton di teater hidupku sendiri. Lalu
semuanya kabur.
Gelap.
Dan aku kembali terbangun.
Jam 03.30.
Masih terlalu pagi untuk menghadapi kenyataan.
Terlalu larut untuk berpura-pura tidak peduli.
Aku tertidur lagi.
Kali ini mimpi berubah. Aku di rumah, bersama ibu. Ia sedang menyiapkan
sarapan, dan aku hanya diam, duduk di kursi kayu tua. Tapi sebelum sempat
berbicara, semuanya lenyap seperti layar yang diredupkan.
Adzan Subuh berkumandang, memecah sisa-sisa mimpi. Aku duduk
lama di sajadah setelah salam terakhir.
Ada sesuatu yang mengganjal.
Mimpi itu… terlalu nyata untuk disebut kebetulan. Terlalu rapi untuk sekadar
bunga tidur. Biasanya mimpiku putus-putus, tapi malam itu ia mengalir seperti
kisah yang ditulis seseorang. Seperti semesta sedang menyusun naskah, dan aku
tokoh utamanya yang sedang diuji oleh rasa yang tak selesai.
Anindya.
Nama itu berputar di kepalaku.
Mungkin aku memang tak akan pernah benar-benar memilikinya.
Wajahnya terlalu lembut untuk dilukis dalam kata, hatinya terlalu tenang untuk
kusebut dalam doa. Tapi mengapa kehilangan yang tak pernah kumiliki bisa
sesakit ini?
Aku menatap langit pagi dari jendela. Hujan tipis turun,
seperti mengiringi pikiranku.
Dan di dalam hati, aku tahu: mungkin cinta memang bukan tentang memiliki.
Mungkin, seperti oksigen yang semalam ia pasangkan di mimpiku, cinta hanya
hadir untuk membuat kita kembali bernapas, sebelum akhirnya pergi lagi, tanpa
pamit.
“Kita tak pernah benar-benar memiliki orang yang kita cinta.
Kita hanya menumpang rindu di senyumnya, sebentar… lalu pulang dalam sunyi.”

Tidak ada komentar