cerpen

Kita Tak Pernah Benar-benar Memiliki - Cerpen

Oktober 29, 2025
0 Komentar
Beranda
cerpen
Kita Tak Pernah Benar-benar Memiliki - Cerpen

Kita Tak Pernah Benar-benar Memiliki 

Waktu menunjukkan lewat tengah malam. Di antara sepi yang menggigilkan jendela, aku terlelap dalam tidur yang begitu tenang. Rasanya seperti tidur siang di bawah matahari hangat, padahal udara di luar dingin, dan lampu kamarku temaram. Dalam mimpi itu, aku sedang rebah di atas dunia yang tak kumengerti, tapi kurasa itu rumah.
Lalu, seseorang datang.

Bukan orang asing.
Bukan sekadar bayangan kabur.
Dia - Anindya.

Namanya saja sudah cukup membuat napasku tercekat. Setiap huruf di namanya terasa seperti denyut jantung yang memanggil masa lalu.
Ia datang bersama satu sosok lain yang samar, begitu kabur hingga aku tak bisa menebaknya siapa. Tapi Anindya mendekat. Dengan langkah pelan, seolah tak ingin membangunkan malam. Ia tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika dunia masih sederhana dan kami masih bisa bercanda tanpa batas waktu.

Ia membangunkanku dari tidur dalam mimpi.
Senyumnya seperti cahaya redup yang memantul di kaca jendela setelah hujan.
Hatiku bergetar, antara bahagia dan takut.
Bahagia, karena bisa melihatnya lagi. Takut, karena sadar ini hanya mimpi.

Dalam kenyataan, kami bahkan sudah nyaris tak saling sapa. Hanya menyapa lewat tatapan singkat yang segera berpaling. Tapi malam itu, dalam mimpi, Anindya begitu nyata. Begitu hidup, seolah jarak yang panjang dan diam yang dingin tak pernah ada di antara kami.

Tiba-tiba dadaku sesak. Entah karena terlalu bahagia, atau karena terlalu banyak rindu yang tak pernah sempat tumpah. Melihatku terengah, Anindya sigap seperti dulu, seperti seseorang yang tahu caranya menenangkan. Ia bergegas ke dalam rumah, mengambil tabung oksigen, lalu kembali. Dengan lembut ia memasangkan selangnya ke hidungku. Sentuhannya ringan, seperti doa.

“Tarik napas pelan-pelan,” katanya lirih.
Dan anehnya, sesak itu reda.

Seolah tak terjadi apa-apa, ia tersenyum lagi. “Sudah mendingan?”
Aku hanya mengangguk. Lalu bersiap pergi. Tapi langkahku terhenti saat ia menoleh.
“Eh, mau ke mana?” tanyanya.
“Mau pulang. Mandi. Salat,” jawabku.
Ia mengangguk pelan, lalu berkata,
“Jangan lama-lama ya. Nanti kita pergi bareng ke acara itu.”

Aku tersenyum. Entah acara apa yang ia maksud, tapi aku mengangguk saja, seperti orang yang takut kehilangan.
Sebelum benar-benar berbalik, Anindya sempat berpesan lagi,
“Jangan pergi sama orang lain, ya.”

Aku tahu siapa yang ia maksud - temanku sendiri.
Seseorang yang juga dekat denganku, dan entah kenapa, akhir-akhir ini juga sering bersamanya.

Aku pergi sebentar. Tapi ketika kembali, dia tak ada.
Kosong.
Hening.
Dan yang tersisa hanya udara dingin yang menusuk kulit mimpi.

Rasa kehilangan itu tak masuk akal. Bagaimana mungkin aku kehilangan seseorang yang bahkan dalam mimpi pun tak sepenuhnya nyata? Tapi hatiku sakit.
Aku terbangun. Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari.

Aku menatap langit-langit kamar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Tapi sebelum sempat berpikir panjang, aku menutup mata lagi.
Dan semesta, entah kenapa, begitu baik malam itu, ia mengizinkan mimpiku bersambung.

Aku kini berada di sebuah gedung besar. Ramai. Megah. Cahaya berkelap di mana-mana.
Mungkin inilah “acara” yang dimaksud Anindya.
Aku datang sendirian, berjalan di antara banyak wajah yang tak kukenal.
Dan di kejauhan, kulihat dia.

Anindya.
Bersama temanku.
Mereka tertawa.
Berdua.
Dan dalam sekejap, ada sesuatu yang retak di dadaku. Tanpa suara, tapi nyerinya nyata.

Aku ingin berteriak, tapi suaraku tak keluar. Aku hanya berdiri, menatap dari jauh, seperti penonton di teater hidupku sendiri. Lalu semuanya kabur.
Gelap.
Dan aku kembali terbangun.
Jam 03.30.

Masih terlalu pagi untuk menghadapi kenyataan.
Terlalu larut untuk berpura-pura tidak peduli.

Aku tertidur lagi.
Kali ini mimpi berubah. Aku di rumah, bersama ibu. Ia sedang menyiapkan sarapan, dan aku hanya diam, duduk di kursi kayu tua. Tapi sebelum sempat berbicara, semuanya lenyap seperti layar yang diredupkan.

Adzan Subuh berkumandang, memecah sisa-sisa mimpi. Aku duduk lama di sajadah setelah salam terakhir.
Ada sesuatu yang mengganjal.
Mimpi itu… terlalu nyata untuk disebut kebetulan. Terlalu rapi untuk sekadar bunga tidur. Biasanya mimpiku putus-putus, tapi malam itu ia mengalir seperti kisah yang ditulis seseorang. Seperti semesta sedang menyusun naskah, dan aku tokoh utamanya yang sedang diuji oleh rasa yang tak selesai.

Anindya.
Nama itu berputar di kepalaku.
Mungkin aku memang tak akan pernah benar-benar memilikinya.
Wajahnya terlalu lembut untuk dilukis dalam kata, hatinya terlalu tenang untuk kusebut dalam doa. Tapi mengapa kehilangan yang tak pernah kumiliki bisa sesakit ini?

Aku menatap langit pagi dari jendela. Hujan tipis turun, seperti mengiringi pikiranku.
Dan di dalam hati, aku tahu: mungkin cinta memang bukan tentang memiliki.
Mungkin, seperti oksigen yang semalam ia pasangkan di mimpiku, cinta hanya hadir untuk membuat kita kembali bernapas, sebelum akhirnya pergi lagi, tanpa pamit.

“Kita tak pernah benar-benar memiliki orang yang kita cinta.
Kita hanya menumpang rindu di senyumnya, sebentar… lalu pulang dalam sunyi.”


Tidak ada komentar